KRIMINALISASI KEPUTUSAN ADMINISTRATIF: Kasus Ahmad Kanedi dalam Sorotan Hukum Administrasi Negara
Oleh: MUSPANI, SH., MH.
Apakah setiap keputusan kepala daerah yang ternyata menimbulkan kerugian negara dapat serta-merta disebut sebagai korupsi?
Pertanyaan ini menjadi relevan ketika kita melihat kasus yang menimpa Ahmad Kanedi, mantan Wali Kota Bengkulu, yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Bengkulu terkait proyek Mega Mall dan PTM Bengkulu.
Padahal, jika ditelaah lebih dalam, tuduhan terhadap Ahmad Kanedi justru lebih dekat dengan ranah hukum administrasi negara (HAN), sebagaimana telah dikemukakan oleh Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, salah satu pakar hukum tata negara dan HAN terkemuka di Indonesia.
Antara Maladministrasi dan Tindak Pidana
Prof. Yusril berpendapat tegas bahwa banyak kasus yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi seharusnya berada dalam lingkup pelanggaran administratif, bukan pidana. Ini terjadi karena adanya kegagalan membedakan antara: (a) Maladministrasi (kesalahan administrasi atau pelanggaran AUPB), dan (b) Kejahatan korupsi (penyalahgunaan wewenang dengan niat memperkaya diri).
Dalam kasus Ahmad Kanedi, Kejati menduga bahwa ia membiarkan “pengagunan SHGB” yang berpotensi merugikan aset daerah. Namun, fakta hukumnya menunjukkan: (1) SHGB tidak pernah terbit; lahan tetap berstatus HPL (Hak Pengelolaan); (2) Perjanjian dibuat sebelum Ahmad Kanedi menjabat, dengan dasar hukum yang sah, lengkap dengan akta notaris dan persetujuan DPRD.; (3) Tuduhan “pengagunan” pun bisa jadi hanyalah pelanggaran prosedur pihak swasta, bukan inisiatif atau tindakan aktif wali kota.
Tidak Ada Mens Rea, Tidak Ada Korupsi
Salah satu pilar penting dalam hukum pidana adalah unsur niat jahat (mens rea). Korupsi bukan sekadar “terjadi kerugian negara”, tapi harus ada niat memperkaya diri atau orang lain.
Dalam konteks ini, Ahmad Kanedi tidak terbukti menerima suap, gratifikasi, atau kickback apa pun. Jika benar terjadi pelanggaran prosedur, maka itu semestinya dinilai sebagai kelalaian administratif, bukan pidana korupsi.
Risiko Kriminalisasi Kebijakan
Prof. Yusril menyebut ini sebagai “kriminalisasi kebijakan”, di mana setiap kekeliruan kebijakan kepala daerah bisa dijerat dengan pasal korupsi, bahkan tanpa bukti keuntungan pribadi.
Bahaya pendekatan seperti ini adalah: (1) Pejabat publik akan takut membuat keputusan atau mengambil diskresi; (2) Birokrasi menjadi pasif dan lamban. Dan (3) Proses hukum kehilangan objektivitas karena dicampur aduk antara fungsi administratif dan pemidanaan.
Solusi Hukum: PTUN dan Ganti Rugi Perdata
Jika ada perjanjian kerja sama yang dilanggar oleh mitra swasta, sebagaimana dalam kasus Mega Mall, maka: (a) Sengketa tersebut masuk wilayah hukum perdata atau tata usaha negara.; (b) Pemkot bisa menggugat wanprestasi ke pengadilan negeri. Dan (3) Jika kepala daerah melanggar prosedur, pengujiannya dilakukan melalui PTUN, bukan dengan ancaman pidana.
Kesimpulan
Kasus Ahmad Kanedi seharusnya menjadi pelajaran untuk mengembalikan hukum ke rel yang benar. Kita perlu membedakan secara tegas antara kesalahan administrasi dan tindak pidana korupsi. Jangan sampai aparat penegak hukum terjebak pada semangat “menangkap siapa saja”, tapi lupa pada asas legalitas dan keadilan subtantif.
Jika tidak, maka ke depan, siapa pun kepala daerah yang menjalankan warisan kebijakan pejabat sebelumnya berpotensi dipenjara hanya karena administrasi yang tidak sempurna.
Kita tidak menolak penindakan korupsi, tapi menolak pemidanaan yang sembrono