Bengkulu,Realitapost.com — Perwakilan masyarakat Desa Talang Baru, Kecamatan Malin Deman, bersama Perhimpunan Petani Pejuang Bumi Sejahtera (P3BS), menggelar konferensi pers terkait situasi darurat konflik agraria dengan PT Daria Dharma Pratama (DDP). Konferensi pers ini turut didampingi oleh Direktur AKAR Law Office, Ricki Pratama Putra, S.H., M.H., CPM., bersama rekan-rekan dari Akar Global Inisiatif.
Konflik agraria ini kembali mencuat setelah pihak PT DDP diduga melakukan tindakan sewenang-wenang dengan membangun galian batas (boundary) di sekitar lahan warga. Aktivitas tersebut tidak hanya merusak tanaman dan kebun masyarakat, tetapi juga memutus akses jalan utama yang selama ini digunakan petani untuk menuju perkebunan mereka.
Berdasarkan laporan masyarakat dan data yang dihimpun, kegiatan pembangunan boundary PT DDP menimbulkan sejumlah dampak serius.
Pertama, pemutusan akses jalan utama. Galian boundary telah menutup jalur yang menjadi satu-satunya akses bagi petani menuju kebun. Akibatnya, beberapa warga seperti Marzuki, Bapak Tamrin, dan Khairul Aulia tidak lagi dapat melakukan aktivitas pertanian secara normal.
Kedua, perusakan lahan dan tanaman. Lahan perkebunan milik warga, salah satunya milik Musa Siswanto, mengalami kerusakan parah. Tanaman kelapa sawit, kayu sengon, dan kayu labu yang ditanamnya hancur akibat aktivitas alat berat perusahaan, dengan nilai kerugian ditaksir mencapai Rp 428 juta. Warga lainnya, termasuk Bapak Maimun dan Ibu Jainah, juga terancam kehilangan kebun akibat tertutupnya akses.
Selain kerusakan fisik, warga juga melaporkan adanya intimidasi dan kekerasan. Dalam salah satu kejadian, Ibu Jainah mengaku mendapat dorongan fisik dan bentakan dari aparat keamanan perusahaan ketika mencoba menghentikan alat berat yang merusak kebun. Bentuk intimidasi lain berupa ancaman dan upaya kriminalisasi terhadap petani juga disebut masih berlangsung hingga saat ini.
Padahal, menurut warga, berbagai protes telah disampaikan kepada pihak perusahaan. Pemerintah Desa Talang Baru bersama pemilik kebun bahkan sudah mengirimkan surat keberatan resmi. Namun, aktivitas galian boundary tetap dilanjutkan perusahaan tanpa mengindahkan keluhan masyarakat.
Dalam konferensi pers tersebut, Kepala Desa Talang Baru, Tukin, menyampaikan beberapa tuntutan masyarakat. Pertama, PT DDP diminta segera menghentikan seluruh aktivitas pembangunan boundary di wilayah sengketa. Kedua, perusahaan harus mengembalikan kondisi lahan dan akses jalan perkebunan warga sebagaimana semula.
Ketiga, perusahaan wajib memberikan ganti rugi yang adil sesuai dengan kerugian yang dialami masyarakat akibat rusaknya lahan dan tanaman. Keempat, masyarakat menuntut pertanggungjawaban atas tindakan intimidasi dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat perusahaan terhadap warga.
Selain itu, warga bersama P3BS juga menyatakan penolakan terhadap perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) PT. BBS maupun PT. DDP, apabila konflik agraria ini tidak segera diselesaikan. Menurut mereka, keberadaan perusahaan hanya terus memproduksi konflik di Mukomuko, khususnya di Kecamatan Malin Deman.
Direktur AKAR Law Office, Ricki Pratama Putra, yang turut mendampingi warga, menegaskan bahwa negara tidak boleh membiarkan rakyatnya dirugikan oleh korporasi. Ia menyerukan kepada Pemerintah Kabupaten Mukomuko dan Pemerintah Provinsi Bengkulu agar segera mengambil langkah konkret dalam menyelesaikan persoalan ini.
“Kami meminta pemerintah daerah, pemerintah provinsi, hingga lembaga terkait di tingkat nasional untuk hadir dan memastikan hak-hak masyarakat petani Desa Talang Baru terlindungi. Konflik agraria ini sudah berlangsung lama, jangan sampai menimbulkan korban lebih banyak,” ujar Ricki, di aula rapat salah satu rumah makan di Kota Bengkulu, Jumat (3/10/2025).
Ia menambahkan, konflik agraria antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan bukan hanya persoalan kepemilikan lahan, tetapi juga menyangkut keberlanjutan hidup petani dan generasi mendatang. Jika akses dan lahan warga terus dirusak, maka ketahanan ekonomi masyarakat desa akan semakin terpuruk.
Masyarakat Desa Talang Baru berharap pemerintah tidak lagi berpihak kepada kepentingan perusahaan semata. Mereka menegaskan bahwa keberadaan perkebunan besar harusnya membawa kesejahteraan, bukan justru menimbulkan penderitaan.
“Kami ingin tanah ini bisa tetap kami garap, karena dari sinilah kami hidup. Kami bukan menolak pembangunan, tapi kami menolak perampasan dan penghancuran lahan,” kata Kepala Desa Talang Baru Tukin.
Dengan adanya pernyataan sikap ini, warga berharap konflik segera mendapat perhatian serius. Mereka menegaskan, jika tuntutan tidak direspons, maka masyarakat akan menempuh jalur hukum dan aksi kolektif yang lebih luas untuk memperjuangkan hak mereka.