BENGKULU – Anggota Komisi VI DPR RI Rieke Diah Pitaloka meminta pemerintah untuk menaikkan status kondisi Pulau Enggano menjadi darurat. Dengan begitu, penanganan lebih dari 4.000 masyarakat adat yang ada di pulau tengah Samudera Hindia itu dapat lebih cepat dan terintegrasi.
“Harus dinaikkan jadi darurat. Penanganan ini lamban kan, karena pemerintah Bengkulu hanya menyebut situasi ini kritis,” kata Rieke dalam pertemuan Bersama Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Wilayah III Pulau Baai Bengkulu, PT Pelindo Regional 2 dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Bengkulu, Minggu, 22 Juni 2025.
Rieke tak menampik jika saat ini pendangkalan alur di Pelabuhan Pulau Baai memang menjadi penyebab awal terhentinya layanan transportasi penumpang dan barang dari dan ke Pulau Enggano. Sejauh ini, proses ini masih berjalan dengan target penyelesaian selambatnya di awal Juli 2025.
Namun, khusus untuk penanganan kebutuhan angkutan barang dan hasil bumi memang belum ada solusi. “Tadi sudah saya komunikasikan ke Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, dan beliau sudah menyanggupi akan menyampaikannya ke Presiden Prabowo Subianto,” kata Rieke.
Kepala KSOP Wilayah III Pulau Baai Bengkulu Petrus Christanto Maturbongs engakui lambannya penanganan pengerukan alur di Pelabuhan Pulau Baai, memang ditengarai oleh status yang telah ditetapkan untuk Pulau Baai. “Pemerintah daerah menyebut situasinya kritis, jadi penanganannya masih dalam kondisi normal. Jadi tidak perlu diskresi,” kata Christanto.
//Dorong Kapal Alternatif
Sementara itu, terkait dengan situasi di Pulau Enggano. Dalam pertemuan itu menyepakati agar ada upaya cepat yang bisa membantu masyarakat Enggano yang kini terisolir akibat tersendatnya transportasi laut.
“Kita akan usulkan kapal besar dengan tonase 75 GT, dan dua kapal perintis untuk penumpang serta kapal langsir. Ini sudah saya sampaikan ke Wakil Ketua DPR RI,” kata Rieke.
Tak cuma itu, lanjut Rieke, dalam pertemuan itu juga disepakati untuk mengusulkan agar ada kepastian bahan bakar minyak bagi kapal-kapal yang hendak diperbantukan. “Mudah-mudahan segera ada ujungnya,” kata Rieke.
Ketua AMAN Bengkulu Fahmi Arisandi mengatakan, kehadiran Rieke ke Bengkulu memberi kabar baik atas penantian lebih dari 3 bulan masyarakat adat di Enggano. Ia berharap, seluruh kesepakatan yang telah diambil dan melalui kewenangan Rieke sebagai Komisi VI DPR RI dapat berjalan dengan lancer.
“Penanganan Enggano harus di luar keadaan normal. Di Bengkulu, selama ini kan Enggano dianggap baik-baik saja. Padahal nyatanya tidak,” kata Fahmi.
Fahmi juga menyampaikan apresiasinya kepada Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad yang ikut hadir dalam pertemuan itu meski hanya melalui sambungan telepon. Respons baik Sufmi bisa menjadi jawaban di tengah keputusasaan masyarakat Enggano.
“Ada banyak jalan untuk menyuarakan Enggano. Tidak selesai di daerah, kita coba tangga lain. Sudah terlalu sabar orang Enggano dibiarkan sampai lebih 3 bulanan terkurung,” kata Fahmi.
Sejak Maret 2025, transportasi laut ke Pulau Enggano terhenti. Lebih dari 4.000 orang terkurung di pulau itu. Pada pekan pertama Juni, kapal Ferry Pulo Tello baru dapat beroperasi setelah berhasil dikeluarkan dari Dermaga Pulau Baai akibat pendangkalan alur masuk.
Sejak itu, layanan transportasi mulai beroperasi. Namun hanya melayani orang bukan barang atau hasil bumi. Situasi ini membuat para masyarakat sdat di Enggano yang mengandalkan jual beli hasil bumi menjadi makin krisis.
Hingga kini, situasi aktivitas ekonomi di Enggano lumpuh. Warung-warung sepi, rumah makan tutup, penginapan sepi dan beberapa rumah tangga terpaksa melakukan barter untuk memenuhi kebutuhan harian mereka di pulau.
“Yang susahnya untuk bayar sekolah anak-anak i luar pulau, kami sudah tak punya uang,” kata Iwan, warga Malakoni pekan lalu.
Pemerintah Daerah di Bengkulu, hingga kini belum ada Tindakan dan Langkah strategis untuk menyikapi kondisi di Pulau Enggano. Keluhan dan aspirasi yang kerap disampaikan oleh masyarakat adat di Enggano, tak mendapat perhatian.